Seni di Minggu Pagi
“Tidak semua orang membayangkan keberhasilan seperti apa yang ada di kepalamu," demikian kataku kepada Sarah yang menyandarkan kepalanya di jendela. Dia gelisah, pipinya merah, tersisa mendung di matanya. Tangisnya baru saja usai beberapa waktu lalu. Anaknya, Randi, tidak mau sekolah hukum.
Sarah sebelumnya menghubungiku di
Minggu pagi yang cerah ini, "Bisa mampir kemari?" ujarnya. Segera aku
menduga ini pasti persoalan anak laki-lakinya yang baru tamat sekolah. Sudah
beberapa minggu ini ia sering menceritakan anaknya itu kepadaku, yang kerap
disuruh melanjutkan pendidikan mengambil program studi bisnis. Tapi, anaknya
tidak mau.
"Hidupku adalah hidupku. Itu
katanya," ucap Sarah. "Bayangkan! Anakku sendiri mengatakan itu
kepadaku." Sarah kemudian menangis lagi. Ia menutup mukanya dengan kedua
tangan.
Aku meraih badannya dan
mendekapnya rapat-rapat, menunggunya berhenti menangis. Kuelus-elus rambutnya.
"Tidak apa-apa, suatu hari manusia mendapatkan kesadarannya. Manusia
seperti apapun tabiatnya pasti menemukan caranya berpulang pada kebaikan."
"Kau tak mengerti,"
ujarnya setelah melepas pelukanku. "Randi mau kuliah seni murni. Parahnya
dia bilang padaku, dia ingin mengabdikan hidupnya untuk seni. Apa yang kau tahu
tentang seni? Pengabdian terhadap seni artinya seseorang rela menjadi
miskin."
"Aku tak mau anakku susah
sepertiku dulu..." "Sesuatu yang bila dilakukan sungguh- sungguh dan
penuh kerja keras, maka tak ada yang sia-sia," balasku.
Sarah memalingkan mukanya.
"Ah," desahnya seraya menepuk paha, "Seandainya hanya dengan
kerja keras cita-cita dapat digapai, sungguh dunia ini bakal kehilangan orang-
orang malas. Tapi nyatanya, kerja keras saja tak cukup."
Perkataannya membuatku
menyipitkan mata. Kukatakan padanya, "Ini aneh, mengapa sekarang orang tak
percaya lagi dengan kerja keras. Malahan kita mengolok- oloknya dan mendewakan
menjadi biasa dan medioker."
"Kau tahu, zaman sekarang
orang suka betul memanfaatkan kerja keras orang lain," timpal Sarah.
"Bila mereka tahu kau seorang pekerja keras, akan banyak pekerjaan yang
ditimpakan kepadamu sementara mereka senang-senang saja makan hasil yang sudah
kau kerjakan. Kerja keras tak menjanjikan apa-apa. Justru bila kau punya orang
tua pejabat atau saudara pengusaha yang kaya raya, itu sudah cukup sebagai
jaminan kau takkan melarat."
"Jadi, tiada gunalah
berseni-seni itu. S Sudah kukatakan hal demikian kepada Randi, namun anak itu
benar-benar keras kepala!" katanya lagi. Sarah melemparkan pandangannya ke
luar jendela, menatap pekarangan dan jalanan depan rumahnya yang lengang.
"Jangan bilang begitu,"
ujarku. "Dia anakmu sendiri. Lagipula, bila memang kau tak berkenan Randi
kuliah seni, mengapa tidak pendidikan seni saja? Bukankah kau bilang bahwa dia
pernah berkeinginan menjadi guru?"
"Sama saja," jawab
Sarah. "Apa yang seorang guru dapatkan? Tidak ada. Hanya kesedihan dan
kesusahan yang lain. Di mana-mana kau mendengar tangisan guru, tapi adakah yang
mendengarnya?"
Aku tersenyum, "Guru itu
bukan pekerjaan, guru itu panggilan nurani. Beruntunglah sebuah bangsa bila
orang-orangnya mendamba menjadi guru. Kapan terakhir kali kau mendengar seorang
anak bercita- cita menjadi guru? Memang kehidupan kebanyakan guru itu miskin di
negeri ini, tapi dia kaya oleh kemuliaan. Dan jangan lupa, kau sendiri adalah
guru.”
"Iya, aku seorang guru.
Hanya saja, aku mengorbankan diriku menjadi guru supaya anak-anakku tidak
menjadi guru."
"Lagipula," sambung
Sarah, "Kemuliaan seperti apa yang kau maksudkan itu? Setiap tahun guru
ditimpa beragam macam persoalan baru. Kebijakan kurikulum sebentar-bentar
berubah. Sudah pekerjaannya banyak, gajinya kerap dikurangi,
tunjangan-tunjangannya dipotong dengan bermacam alasan. Jika kami memperlakukan
sesuatu yang mulia, aku tidak mengerti lagi apa itu mulia. Atau barangkali
kitalah bangsa yang mengaku paling mulia yang sebenarnya hanya sekumpulan
orang-orang bermuka dua."
"Coba jawab, seberapa sering
kau bertemu orang yang enggan betul menjadi guru, tapi sangat suka menggurui
orang lain?", Aku tersenyum dan menelan ludah.
"Tapi, anakmu, bukanlah anakmu,"
ujarku. "Mereka adalah anak kehidupan yang merindukan dirinya sendiri. Kau
boleh memberikan cintamu, tetapi bukan pikiranmu. Kau bisa memelihara tubuhnya,
tapi bukan jiwanya. Jiwanya tinggal jauh di rumah masa depan yang takkan bisa
kau datangi, bahkan dalam mimpimu sekali pun. Bukankah demikian penyair itu
berkata?" Kurayu Sarah dengan mengelus punggungnya, "Baiknya jangan
memaksakan pilihan seorang anak. Semakin kau menjeratnya dalam kepalan
tanganmu, semakin ia menjadi susah. Semakin dia tersusah, semakin dia terjepit.
Ketika seseorang terjepit, dia menderita. Dan dalam penderitaannya, dia menjadi
kaya oleh seni. Lalu kau malah semakin membuatnya yakin pada seni yang
menyelamatkan. Seni itu lahir dari penderitaan, Sarah, dan dari seni,
perjuangan seseorang atau suatu kaum dimulai."
Sarah tidak membalas. Dia terus
melihat ke luar. Selintas terbang seekor burung dari pohon mangga yang sebelum
meloncat sempat bersiul beberapa patah lagu. Aku memperbaiki posisi dudukku,
kemudian menggenggam kedua tangannya.
"Lihat aku," kataku
tersenyum dengan mata berbinar, "Biarkan dia ambil seni, syukur-syukur
sukses. Andaikata gagal, percayalah dia pasti kecewa. Ketika dia kecewa, sebut
saja dia bergabung jadi tentara. Namun suatu hari dia kalah dalam perang,
kekecewaannya yang baru pun muncul. Dunia jadi menyebalkan baginya. Maka Randi
akhirnya memutuskan jadi kanselir, lalu dia mengubah negara dalam kediktatoran
dan memulai perang dunia sebagai pembalasan dendamnya."
"Bukankah itu ide yang
brilian?" tanyaku sambil tertawa. Sarah hanya terkekeh, dia menemukan senyumnya
kembali. "Aku tak mau dunia hancur hanya karena anakku gagal
berseni." Aku tertawa lagi, "Sudahlah, setiap orang punya jalan
hidupnya sendiri. Dan bukankah dia sama sepertimu, dulu juga ingin kuliah seni.
Omong-omong, suamimu ke mana?"
"Keluar bersama
teman-temannya." "Randi di kamar?"
"Tidak," Sarah
melenguh.
"Tumben, biasanya jam segini
dia masih tidur."
"Tidak. Hari ini dia ikut
pameran di balai kota," jawab Sarah. Dengan cemberut dia bercerita,
"Pagi-pagi sekali ada beberapa orang kawannya datang ke rumah membantunya
mengangkut banyak kanvas dari dalam kamar."
Perempuan itu berdiri dari sofa.
Dia memajukan kedua tangannya dan sambil memperaga dia melanjutkan, "Kau
harus lihat seluruh kekumuhan pada dunia seni. Rambut panjang, rambut gimbal,
kering kusut. Mata merah, kelopaknya turun, wajah mengantuk. Telinga beranting
peluru, leher berkalung duri. Pakaiannya acak- acakan, celana jins sobek-sobek,
sepatunya robek, benangnya keluar, bertahun-tahun tak pernah diganti, dan
mereka sebut itu berkesenian."
Dia mendongak, memegang kepalanya
dengan kedua tangan. "Berkesenian artinya berkebudayaan. Ketika semacam
itu dianggap seni, sama artinya kita membiarkan kekumuhan menjadi sebuah
budaya."
"Tapi," aku menimpal,
"Adakah salah seorang di antara teman Randi yang memberikan salim cium ke
tanganmu?"
"Semuanya menyalamiku."
"Ya! Itu cukup," kataku
kemudian ikut berdiri. "Seni adalah sebuah sikap. Sikap menolak seorang
tuan dan menghormati kebijaksanaan. Di dunia yang serba terikat ini hanya
senilah yang merdeka. Lagipula di luar itu, tak seorang pun berhak menilai
orang lain hanya dari cara mereka berpakaian, bukan?"
"Ya, aku tahu itu. Tapi
persoalannya jika melulu begitu, suatu hari preman dan seniman tak ada bedanya.
Sebab itulah tiada lagi yang menghargai seni di negeri ini karena seni tampak
serupa ciptaan dari orang tak beradab."
"Sebab itulah orang harus
berkesenian, Sarah," jawabku. "Berkesenian artinya berliterasi, bukan
sekadar membaca, melainkan mampu memilah-milih informasi. Ketika orang terlalu
terpaku pada otak, mereka akan mencelakakan manusia, sebab itulah orang harus
mampu pula mencerna lewat hatinya dengan berseni. Dengan begitu ilmu yang
bertumbuh tak hanya tajam, tapi juga lembut dan memanusiakan manusia."
"Ah, sudahlah, seni
ujung-ujungnya juga dipakai sebagai jalan cari uang."
Aku sekadar tertawa, "Sar,
mengapa kau sangat sentimental terhadap seni?"
Sarah mendesah panjang setelah
menghirup napasnya dalam-dalam. Dia merenung sejenak. Dengan menoleh dia
bilang, "Tampaknya karena pikiran anakku telah teracuni oleh seni."
Aku menggeleng seraya tersenyum,
"Bukan, kau hanya kecewa dengan dirimu sendiri karena kau seorang
pengecut. Kau tak punya cukup keberanian mengejar mimpimu menjadi
seniman."
Kudekatkan tubuhku kepadanya,
kemudian mengambil kedua tangannya dan meremasnya kuat-kuat, "Seniman
adalah pekerjaan memerdekakan jiwa, Sarah. Seseorang yang hendak merdeka harus
kuat menderita. Harus kuat menahan lapar. Harus kuat menahan nafsu. Harus kuat
dirinya dicemooh orang banyak, dipandang sebelah mata, dipandang gagal di
sana-sini, dipandang tak beradab seperti yang kau katakan barusan. Dan harus
selalu siap berhadapan dengan segala macam bentuk pertentangan di dalam dirinya
sendiri. Dirinya yang harus siap bahwa takdir sewaktu-waktu dapat memenggal
kepalanya."
"Oleh karenanya, seniman
harus menelanjangi kejujuran dirinya kepada orang-orang. Yang artinya,
menjalani seni kau harus bersedia mempersetankan cakap orang. Namun
kenyataannya, kau menolaknya dan lari jauh-jauh darinya karena ketakutanmu. Kau
kubur dalam cita-cita itu dengan memilih terjebak kenyamanan palsu hidupmu
sendiri. Dan suatu hari kau mulai sadar, lalu menyesal, mengapa kau memilih
jalan hidup yang seperti ini...dan bukan mengejar mimpi-mimpimu."
Setelah berkata panjang itu, aku
diam, lebih-lebih Sarah. Dia menunduk lalu berpaling ke kanan dan kiri, lalu
menatap ke depan, dan menunduk lagi. Perempuan itu berusaha keras bersembunyi
dari sesuatu yang letaknya tepat di depan wajahnya.
Kemudian dia mengusap air
mukanya, lalu berjalan menuju jendela dan merenung cukup lama di sana. Di luar,
tak sebuah pun kendaraan melaju. Tak hanya rumahnya yang sepi, jalanan aspal
itu pun seolah-olah meredup. Namun, ada dua ekor burung merdeka yang bernyanyi
menemani. Nada- nadanya naik-turun di sekeliling daun-daun yang berdesir ditiup
udara pagi. Gumpalan sekawanan awan hanya melangkah lambat di angkasa. Tak
lama, matahari kekuningan yang sebelumnya terhalang mencuat di antaranya,
menjadi sebuah karya seni untuk Sarah.
Perempuan itu sekonyong-konyong
tersadar bahwa aku telah tiada. Diperhatikan sekelilingnya yang tak bersuara.
Dia mengucek matanya. Sarah mengorek telinganya cepat-cepat. Tetapi ia tetap
tak menemukan siapa-siapa. Ia terjatuh lalu menangis sesenggukan.
Minggu yang murung, seseorang
telah terjebak dalam rumahnya. Dia sendirian tanpa apa-apa untuk dipegang.
Berikut ia tersadar, kehilanganku adalah kehilangan dirinya sendiri. Sarah
menelan dalam-dalam a ludahnya yang terasa pahit. Ada sesuatu mdi dalam dirinya
yang terasa membakar dengan amat perih.
Ketika dia melihat keluar lewat
matanya yang berair, sesuatu yang jauh terbayang di akepalanya. Dia melintasi
lorong waktu yang kemudian mengantarkannya pada sebuah pemandangan beberapa
puluh tahun lalu.
Seorang gadis diasingkan di bawah
pohon gangsana di pekarangan sekolah oleh teman- temannya karena seragam
putihnya yang kuning kecokelatan, sepatunya robek, dan badannya bau.
Di kelas, dia termangu menahan
laparnya ketika melihat anak-anak lain dapat jajan i di kantin. Anak itu
menahan dirinya ketika t guru matematika menghardik kemampuannya a berhitung.
Menahan malu kala ditertawai i sekumpulan perempuan di jam olahraga. Bersabar
dikatai orang yang memandangnya aneh, yang kerap diam-diam menyingkir alalu
bermenung di kamar mandi.
Tetapi, bagaimanapun, kenangan
itu tak pernah ia lupa bahwa diam-diam dalam i keterasingan dan kesedirian, dia
memilikiku i sepenuhnya. Dia menuliskan aku di buku catatannya.
Diam-diam dia menggambar aku di
halaman abelakang buku sekolahnya. Sebab itu, diam- diam dia bahagia.
Namun kini, perempuan itu telah
beranjak amat dewasa. Pada hari yang baru berjalan - setengah, ia hanya
termenung selepas menemukan bahwa
seluruh ruangan yang sunyi ini adalah hidup yang telah kehilangan dirinya
sendiri. Bila orang terus lari dari mimpi-mimpinya, akankah mereka dapat dikatakan
menjalani hidup? "Dan dalam sekejap, kesedihan meraup seluruh kesadaranmu.
Kau terjerat dalam bayang-bayang pikiranmu, pertentangan- pertentangan dirimu sendiri.
Kau susah. Kau gelisah. Ada banyak suara menjengkelkan yang mengelilingimu,
menghardikmu, menangis kepadamu, dan kau terjepit. Terpojok oleh keberadaanmu
sendiri. Kau merasa hampa. Dan kau merana."
"Namun dalam penderitaan
itu, diam-diam sekali lagi seni memanggilkan namamu. Lantas, akankah kau
menyambut tangannya kali ini?" Begitu bisikku dari dalam jiwanya.
(Solopos Sabtu 05/10/2024)
Cerpen oleh Nuzul Ilmiawan
Alumnus Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang. Lahir di Bireuen, 1 Oktober 2024